Sebelum pemerintah kabupaten Bantul lahir,
daerah wilayah Bantul telah lama menjadi saksi perjalanan
sejarah yang panjang. Berbagai peristiwa penting telah silih
berganti muncul dan lenyap dalam pentas tlatah bBantul dan
sekitarnya. Tidak dapat diingkari bahwa Bantul telah lama
menjadi saksi terdekat kelahiran kerajaan Mataram yang
berpusat di Kerta dan Pleret, didaerah yang kini menjadi
tlatah kabupaten bantul. Di tanah ini pulah disaksikan
kelahiran tokoh Senopati ing ngalaga, pendiri Mataram, anak Ki
Pemanahan, dan juga kelahiran toko Sultan Agung, Raja besar
Mataram, yang terkenal berjiwa patriotik dan Nasionaloistik,
anti kehadiran kekuasaan asing. Sudah barang tentu Bantul
tidak hanya menjadi saksi kelahiran kerajaan dan kiprah tokoh
pimpinan negaranya, tetapi juga ikut serta dalam segala gerak
dan terlibat dalam pergolakan-pergolakan yang terjadi dan
kembalinya pusat pemerintahan kerajaan, dari Kerta – Pleret ke
Kertasura, Surakarta, sampai lahirnya Kasultanan Yogyakarta,
yang kembali berpusat di tempat yang tidak jauh dari bantul.
Kembali disaksikan munculnya toko pendiri kerajaan
yang tangguh, Pangeran Mangkubumi, penerun generasi pemegang
pemerintahan Kasultanan yang terkemuka hingga saat kini, yang
terpatri dalam gelar Sultan Hamengku Buwana dari yang pertama
hingga yang ke sepuluh, dan termasuk pula yang terpatri dalam
gelar Sri Paku Alam dari yang pertama hingga yang ke delapan.
Dari pemerintahan Kasultanan inilah pemerintahan kabupaten
Bantul pada masa kemudian dilahirkan.
Patut disebutkan
pula bahwa sebelum daerah Bantul menjadi saksi dan ajang
kelahiraqn kerajaan seperti tersebut diatas disalah satu
tempat di daerah ini diduga telah pernah menjadi tempat
pemukiman nenek moyang kita pada masa purba. Tidak aneh
kiranya, apabila ditanah subur ini pada masa-masa kemudian
menjadi tempat kelahiran pedesaan agraris penurun generasi
petani saka guru kerajaan atau negara yang dibangun kemudian.
Dengan demikian tidak mustahil apabila jauh sebelum kerajaan
Mataram lahir pada akhir abad ke 16, didaerah ini telah
terdapat daerah pedesaan yang telah mengenal tata pemerintahan
dan kemasyarakatan yang memadai.
Ada petunjuk
bahwa
masyarakat pedesaan pada masa itu telah hidup dalam
lingkungan
kesatuan-kesatuan desa di bawah kepemimpinan
orang-orang
terkemuka (Primus inter pares) dengan gelar yang
terkenal “Ki
Ageng” atau “Ki Gedhe”. Salah seorang di antara tok
mangir,
pendiri dan pemuka desa Mangiran dan sekitaranya,
serta toko
legendaris yang hidup semasa dengan senopati pendiri
Mataram.
Toko legendaris ini sempat terekam dalam babad
bedahing mangir. Dari masa-masa itu pula kiranya sejumlah nama desa
tertua memiliki asalnya, termasuk nama “Bantul”
sendiri.
Selanjutnya secara singkat dapat
dikemukakan,
bahwa letak daerah Bantul yang dekat dengan istana kerajaan,
membuat daerah ini sejak lama menjadi wilayah kerajaan Mataram
yang secara langsung diperintah oleh pemerintah istana dan
termasuk daerah Negara Agung dalam tata kenegaraan Mataram.
Dalam Tata pemerintahan istana yang demikian itiu para pejabat
yang bertugas mengurus daerah Bantul atau lainnya dalam hal
ini para Bupati nayaka, semuanya masih tinggal dipusat
kerajaan. Keadaan ini rupanya berlangsung terus sampai
kerajaan mataram pecah menjadi dua bagian, kasunanan
Suraqkarat dan Kasultanan Yogyakarta, setalah perjanjian
Giyanti tahun 1755. Demikian juga pada masa awal berdirinya
Kasultanan Yogyakarta, daerah wilayah Bantul secara
administratif masih tetap ditangani lansung oleh pemerintahan
istana Yogyakarta. aDa petunjuj bahwa pada masa itu daerah
pedesaan Bantul dibagi-bagi menjadi sejumlah wilayah
kademangan yang dipimpin para demang, pejabat daaerah yang
menangani tugas penarikan pajak, upeti, atau tugas lain untuk
istana. Keadaan macam ini terus berjalan sampai pecah perang
Diponogoro (1825 – 1830) dan Sultan Hamengku Buwana V naik
tahta (1822 – 1855)
Perang Diponogoro yang
berkorban
sejak tanggal 20 Juli 1825 dan berakhir pada bulan
Maret 1830,
telah melibatkan masyarakat didaerah kerajaan dan di
daerah
Jawa Tengah pada umumnya. Peperangan yang dikenal juga
sebagai
perang jawa (Java Oorlog) ini telah cukup
menggoncangkan
pemerintahan dan keadaan sosial ekonomi di kedua
kerajaan,
yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Lebih-lebih pemerintahan Sultan Hamengku Buwana V yang
masih
muda dan yang sehari-harinya dijalankan oleh walinya
cukup
mengalami tekanan baik dare situasi oerang sendiri
maupun dari
pihak Belanda. Perlu dicatat bahwa dalam awal
berkorbarnya
perang ini pasukan Diponogorto membuat markas besar
dan
benteng pertahanannya di Slarong, di wilayah Kabupaten
Bantul
sekarang ini, setelah pindah dari markasnya yang
pertama di
Tegalreja. Oleh sebab itu tidak adpat dipungkiri bahwa
daerah
Bantul pada saat itu secara langsung menjadi daerah
medan
pertempuran yang melibatkan hampir seluruh masyarakat
di
daerah pedesaan ini. Dari sumber sejarah dapat
ditunjukan
bahwa rakyat pedesaan Bantul yang berdiri dibelakang
Diponogoro berhadapan langsung dengan pos pos pasukan
Belanda
yang dibangun di beberapa tempat didaerah Bantul. Dari
sumber
sejarah juga dapat ditunjukan bahwa prajurit
Diponogoro yang
gugur dalam pertempuran di sekitar daerah ini atau
yang
tertangkap di pihak Belanda sebagian bersal dari
daerah Bantul. Dengan demikian daerah Bantul juga telah menjadi saksi
pecahnya perang melawan penjajah Belanda di daerah
kerajaan
dan juga menjadi saksi lahirnya semangat juang dan
kepahlawanan dari rakyatnya pada abad yang lalu.
Berakirnya perang Diponogoro pada sekitar bulan
Maret 1830 membawa perubahan penting bagi peta kehidupan
kerajaan Kejawen (Vorstenlanden). Pihak Belanda mempunyai
alasan untuk memperluas jangkauan kekuasaan dan pengawasan
pemerintahannya terhadap pemerintahan kedua kerajaan,
Yogyakarta dan Surakarta beserta kawulanya di daerah pedesaan.
Selain itu pemerintah Belanda juga mempunyai alasan untuk
mempersempit dan mengecilkan daerah wilayah kedua kerajaan
tersebut. Semuanya ini dapat dicapai oleh pemerintah Belanda
dengan jalan memaksakan kehendaknya melalui penandatanganan
kontrak- kontrak perjanjian antara kedua penguasa kerajaan
Jawa, yaitu Sunan dan Sultan disatu pihak dan pemerintan
Belanda yang diwakili oleh Residen setempat di pihak lain.
Maka dari itu secara berturut-turut kontrak-kontrak yang
penting di tanda tangani antara lain pada tanggal 22 Juni
1830, tanggal 27 September 183, tanggal 3 Nopember 1830 dan
penetapan-penetapan lainnya pada tangal 26 dan 31 Maret 1831.
Secara singkat dapat disebutkan bahwa akibat dari
penandatanganan kontrak-kontrak itu antara lain adalah bahwa
kedua kerajaan telah kehilangan wilayahnya di daerah
Mancanegara. Pajang dan Sukawati dimasukan kw wilayah Kasunan
dan Gunung kidul dimasukan ke wilayah Kasultana. Selain itu
juga ditetapkan perlunya dilakukan reorganisasi atau pembagian
wilayah administratif baru dengan berbagai peraqngkat
pemerintahannya sesuai dengan kemauan pemerintahan kolonial.
Diantaranya ialah tentang pembagian wilayah pemerintahan
kabupaten (Regentshap) dengan pengangkatan kepala daeranya
yaitu Bupati (Regent) pembentukan pengadilan daerah yang baru
(Inlandsce Rebhtbank) di wilayah Kasultanan, penanganan
keamanan oleh polisi ari pemerintah Belanda, dan pembagian
wilayah administratif distrik dan pengangakatan kepala
distriknya, yang kesemuanya harus persetujuan pihak Belanda.
Rentetan pelaksanaan perubahan-perubahan penting ini di daerah
Kasultanan Yogyakarta dilakukan pada tahun 1831.
Dalam
rangka melaksanakan tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan
tersebut diatas maka Sultan Hamengku Buwana V melakukan
usaha-usaha pembaharuan administrasi pemerintahan dan
perangkat-perangkatnya secara bertahap sejak awal tahun 1831,
yaitu sesudah diselesaikannya penandatanganan kontrak-kontrak
pembahasannya dengan pihak penguasa kolonial, dan setelah
situasi dan kondisi istana tenang kembali sesudah perang
selesai. Pada saat itulah maka mulai dilakukan pembagian
wilayah baru daerah Kasultanan Yogyakarta atas tiga wilayah
kabupaten, yaitu : (1) Kabupaten Bantul Karang dibagian
selatan (2) Kabupaten Dengung dibagian utara dan (3) kabupaten
Kalasan dibagian timur. Pembagian wilayah ini diikuti dengan
pengangkatan atau wisudawan Bupati sebagai kepala Daerah
masing-masing. Kemudian juga dilakukan pengangkatan kepala
distrik didaerah masing-masing dengan gelar Mantri, Tumenggung
atau Rangga. Akhirnya Bantul menyaksikan peristiwa bersejareah
yang penuh makna bagi dirinya dan putra generasi berikutnya
yaitu ketika Sultan Hamengku Buwana V dalam pasewakan Agung
mengumumkan da menetapkan pembentukan pemerintahan Kabupaten
Bantul sebagai satu kesatuan wilayah administrasi baru,
sekaligus mewisuda Tumenggung Mangunnegara sebagai Bupati
Kepala Daerahnya, yaitu pada hari Rabu Kliwon, tanggal 20 Juli
1831. Dari sejak itulah lembara sejarah Kabupaten Bantul mulai
terjadi. Mulai saat itu roda pemerintahan dan gerak
masyarakatnya membenahi dan membangun kehidupan daerahnya,
demi ketentraman dan kemakmuran masyarakatnya dalam berbagai
segi kehidupan berjalan terus. Semangat juang dan kepahlawanan
yang ditanam oleh perang Diponogoro tetap bersemi, tumbuh dan
berkembang, serta diwariskan ke putra-putra generasi
seterusnya, sekalipun perang Diponogoro telah lama
ditinfggalkan. Demikianlah semangat kepahlawanan dari masa
perang Diponogoro dan semangat pembangunan negara yang
diwariskan oleh Senopati ing Ngalagah dan Sultan Agung di
Kerta dan Pleret, Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwana I) di
Yogyakarta, telah mendasari jiwa dan semangat putra-putri
rakyat Bantul berperan serta dalam pembangunan Nasional,
secara awal dimulai pada hari jadinya tanggal 20 Juli 1831
tersebut diatas.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar